Nama Pematang Siantar merupakan perpaduan dari dua kata yaitu kata pematang dan siantar. Kedua kata ini tidak pula dapat dipastikan berasal kata dari bahasa batak sekarang tetapi lebih jauh berasal dari kata melayu kuno yang sudah diadopsi dalam kosa kata sehari-hari dalam bahasa batak pesisir khususnya di daerah Simalungun.
Diabad 20 sekarang , bila ada orang mengatakan kata ‘siantar’ maka akan terkenang atau mengingatkannya pada suatu kota yang terkenal keras dan premanis dan banyak jawaranya. Padahal dari kota siantar ini sangat banyak menghasilkan manusia-manusia yang berhasil bahkan sudahpun ada yang sampai menjadi pemimpin Negara tercinta ini.
Masyarakat di Pematang Siantar memang mempunyai heterogen yang sangat banyak, berbagai suku, agama dan budaya ada terdapat disana. Hal ini yang pada masa lalu membuat masing-masing masyarakat yang ada dalam mempertahankan identitas dirinya masing-masing terutama disaat adanya interaksi dapat menimbulkan perselisihan yang tajam.
Keadaan demikian tentu tidak menghidarkan masyarakat tersebut untuk saling curiga dan mudah tersinggung bahkan terjadi perkelahian. Dalam mencari rezeki dipusat kota atau dipasar , hal itupun akan menjadi sesuatu yang laten untuk saling melindungi golongannya. Syukurlah dari pembangunan yang dilakukan pemerintah telah memberikan kesadaran akan perlunya saling toleransi dan saling menghormati disemua aspek membuat hal-hal yang jelek ada dahulunya sudah mulai terkikis.
Masyarakat Pematang Siantar sudah sibuk membangun dirinya masing-masing terutama adanya patron yang ditiru dari putra-putri asal Pematang Siantar yang telah berhasil dibidang pendidikannya maupun karir. Masyarakat disana sangat suka dan berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya sampai setingi-tingginya.
Disaat sekarang ini dikota Pematang Siantar yaitu kota yang terletak di Sumatera Utara, dan menjadi kota kedua terbesar setelah kota Medan memiliki masyarakat yang terdiri dari beragam suku, agama tetapi masyarakatnya telah mampu untuk tetap solid dan saling menghargai.
Tak banyak orang tahu asal muasal nama daerah ini, apalagi generasi muda sekarang (tahun 2006) sudah tidak tertarik mempelajari lebih jauh tentang budaya. Hanya segelintir orang, sesepuh atau budayawan atau pelaku sejarah saja yang tertarik mempelajari sejarah wisata daerah ini.
Nama asli Kota Siantar disebut Siattar dan masih terkait dengan kerajaan di Simalungun yaitu yang dikenal orang dengan Raja Jumorlang dan Datu Bolon. Nama Pematang Siantar tersebut diawali dari cerita kedua tokoh ini, yang mana keduanya memiliki kesaktian mandraguna dan saling mengadu kesaktiannya.
Disuatu hari kedua tokoh ini mengadakan pertandingan kesaktian dan bagi pemenangnya akan mendapatkan “hadiah” yaitu berbentuk tanah atau wilayah dan harta benda serta istri orang yang telah dikalahkan. Adu tanding kesaktian dikala itu sudah biasa dilakukan, namun pertandingan antara Raja Jumorlang dengan Datu Bolon dinilai sangat luar biasa karena kesaktian mereka sangat tersohor, sehingga masyarakat jadi penasaran dan ingin segerah tahu siapa yang menjadi pemenangnya. Adu kesaktianpun berlangsung di Bukit Parbijaan di Pulau Holong.
Tak diduga dalam adu kesaktian itu dimenangkan oleh Datu Bolon, sedangkan Raja Jumorlang kalah, tetapi secara kesatria , kedudukan Raja Jumorlang berpindah kepada Datu Bolon. Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Datu Bolon, setelah memenangkan pertandingan itu , diapun merubah namanya menjadi Raja Namartuah.
Raja Namartuah atau Datu Bolon akhirnya mengawini bekas permaisuri dari Raja Jumorlang dan posisinya tetap sebagai permaisuri (Puanbolon). Dari keturunan ini kelak akan menjadi penerus kerajaan Siattar, sedangkan anak dari Raja Jumorlang oleh Raja Namartuah dijadikan anak tiri.
Asal mula nama Siattar itu berasal dari nama sebidang tanah di “attaran” pada Pulau Holong. Dalam bahasa Simalungun “attar” ditambah akhiran an artinya kata unjuk untuk sebuah wilayah (areal tanah). Lama kelamaan akhiran an ini berubah menjadi awalan “si”.
Sementara awalan “si” dalam bahasa Simalungun dipakai untuk sebuah kata tempat dan benda. Setelah digabung, akhirnya kata-kata itu menjadi nama sebuah perkampungan . Lama kelamaan daerah ini makin padat penduduknya dan warga pendatang juga terus bertambah.
Sedangkan kata Pematang berasal dan berartikan parhutaan atau perkampungan. Dulu Raja yang berkuasa di Siattar tinggal di Rumah Bolon atau Huta dan dari keadaan demikian inilah muncul ide tempat tinggal raja disebut pematang. Sehingga jika digabungkan nama itu menjadi Pematang Siantar artinya Istana Raja Siattar.
Sebelum mengalahkan Raja Jumorlang, Datu Bolon atau Raja Namartuah dikala itu sudah memiliki daerah kekuasaan yakni kerajaan SIPOLHA, lama kelamaan kerajaan itu digabungkan ke dalam suatu pusat pemerintahan di Siattar. Uniknya, dalam adat Simalungun, partuanon Sipolha berkedudukan sebagai tuan Kaha dan mempunyai hak menobatkan Raja Siattar.
Pertanyaannya mengapa partuanon sipolha justru bertindak menjadi tuan ‘ kaha’ dari pada Raja Siantar ? Bila kita pergi ke Sipolha , maka disana akan terdapat suatu Huta bernama Huta Mula dan tempat tersebut didiami oleh Raja Malau. Generasi Malau Raja yang merantau ke Sipolha kemudian membangun daerah kekuasaanya disana dan tak bisa dipungkiri bahwa keturunan Malau Raja tersebut datang bersama-sama dengan keturunan dari Silau Raja lainnya yaitu Manik Raja, Ambarita Raja maupun Gurning Raja.
Malau Raja sebagai anak tertua dari keturunan Silau Raja harus bertindak sebagai kakak tertua bagi adik-adiknya yang lain dan tak terkecuali untuk wilayah Sipolha tersebut. Di Sipolha khususnya di Huta Mula maka yang menjadi penguasa kerajaan adalah bermarga Malau. Oleh sebab itu, didalam Kerajaan Siattar akhirnya dibagi dalam lima (5) partuanon dan satu parbapaan yaitu ; 1. partuanon Nagahuta. 2. partuanon Sipolha. 3. partuanon Marihat. 4. partuanon Sidamanik. 5. partuanon Bandar Tungkat.
Sedangkan untuk parbapaan khusus satu yaitu parbapaan Dolok Malela dan Tuan Bangun. Pembagian wilayah ini sampai sekarang masih dipertahankan dan berlaku khususnya dalam budaya. (SUMUT NEWS- Edisi 20)
Nilai-nilai yangterkandungdalampengertianempat sudut bakuldimaksud adalah nilai-nilai luhur yang secara potensial ada dalam hati manusia. Nilai-nilai yang telah tumbuh tertanam dalamsetiaphatimanusia sejak dahulu kala dan telah berabad - abad dapat dipedomani manusia Batak. Nilai-nilai itu pula yang terkandung dalam ajaran atau dogma /theologi agama dan karenanilai-nilaiituberlakuuniversalmaka menjadi suatu nilai-nilai yang berlaku abadi.
Bahwa setiap hati manusia harus mempunyai Kasih, Damai, Harapan dan Sukacita, ke-empatnilai iniharussekaligusadapada setiaphatimanusia agar manusia itu bisa menjadi manusia yang baik.Ke-empatnilai itu tidak boleh berkurang satupun karena dengan demikian maka manusia itu telah menjadi sesuatu yang tidak baik.Ke-empat titik sudut tersebut harus seimbang letaknya dan jaraknya serta besarannya agar bakul tersebut dapat berdiri dengan baik. Sejak seorang manusia dilahirkan sampai ia mati dalam lingkup budaya Batak maka peranan ke-empat sudut bakul dimaksud masih bisa terlihat dengan jelas diperlukan.
Dalam agama mengenai ke-empat sudut dimaksud jelas ada diajarkan walaupun masing-masing agama mempunyai cara yang berbeda dalam penyapaiannya sedangkan dalam agama Kristen yang jelas mendahulukan kasih diatas segala-galanya.Dalam adat batak maka setiap ritual perkawinan adat batak maka hal ini mutlak dijunjung. Pelaksanaannya jelas terlihat saat melakukan acara “ marsubuah-buahi “yaitu pada saat pihak laki-laki datang ketempat pihak wanita sebelum melaksanakan acara pemberkatan di Gereja .
Pada saat itu dari pihak laki-laki akan datang dengan membawa “ampang“ atau bakul yang pada hakekatnya berisidan harus dimaknaisebagai bawaan yang berisikan :
Kasih / Holong
Damai / Dame
Suka Cita / Lasniroha
Harapan / Harapan
Dalam mythos dan keindahan sprituil budaya Batak senyatanya telah memiliki dan mengartikan ke-empat nilai universal diatasdalamacara “marsibuah-buahi” tersebut sebagai berikut ;
Kasihyang dilambangkan oleh nasi putih yang hangat dan enak/indahan na las.
Damai dilambangkan oleh dedaunan yang terangkai / bulung ni jajabi -(bulung ni pisang ).
Suka Cita dilambangkan pada ulos sebagai hasil karya manusia/ pertenunan.
Harapanyang dilambangkan dalam lauk-pauk yang diatur sedemikian rupa.
Mungkin masyarakat Batak sekarang lebih melihat Ampang/bakul maupun isinya, hanya dimaksud sebagai sesuatu fisik saja dan hanya mengutamakan para pemeran dari pada Suhi ni Ampang atau hanya memikirkan pihak yang menjadi pemeran keempat sudut bakul itu saja sedangkan hakekat dan nilai-nilai yang termuat dalam ampang/bakul dimaksudsudahkurangdiperhatikan. Memangada juga benarnya yang mengartikan acara marsibuah-buahi tersebut sekaligus untuk acara serapan pagi bersama sebelum acara adat/unjuk yang akan seharian akan dilangsungkan. Senyatanya setiap ada perkawinan, sudah lebih cenderung membicarakan tugas dan peranan masing-masing institusi/pranata suhi ni ampang/bakul dimaksud tanpa lagi mengingat muatan / hakekatnya.Secara umum masyarakat mengetahui bahwa bakul/ampang adalah sesuatu alat /perkakas untuk membawa sesuatu yang pada umumnya berguna dan baik bagi manusia itu. Karena itulah maka benda itu dipilih sebagai tempat untuk membawakan kasih, damai, suka cita dan harapan dimaksud.
Ampang / bakul tersebutharus pula dijujung oleh pihak kerabat boru atau garis dari kaum perempuannya atau “ namboru ” .Pemilihan demikian bukan tidak ada artinya justru sangatlah tinggi, arti kenapa garis namboru tersebut yang mutlak sebagai penjunjung bakul tersebut . Hal ini jelas melambangkan pihak laki-laki yang akan dikawinkan tersebutmasih memiliki unsur kasih, damai, sukacita dan harapan yang masih utuh.
Untukseorang pria Batak mendapatkan kharisma maupun harga diri yangbaik ditengah-tengah komunitas adatnya hanyalah karena dukungan dari kaum borunya. Sementara itu hanya kaum borunya itulah yang membuatnya bisa berharga secara kacamataadat . Jika pihak borunya/namborunya tadi yang ditugasi menjunjung ampang /bakul dimaksud , hal itu untuk memberi arti atau pertanda bahwa pihak laki-laki yangakan dikawinkan inimasih mempunyai nilai-nilai adat yang luhur dan masih baik serta tidak cacat adat.Sehingga masih pantas sipihak namboru menjunjung itu/ menjunjung kehormatan tersebut untuk dibawa dan dipertunjukkan kepada pihak perempuan yang akan dikawini.
Suhi ni ampang na opat/ empat sudut bakul yang sama, dengan tegasada diatur dan berada pada pihak siwanita / hula-hula sebagai pranata sekaligus saksi perkawinan adat yang diselenggarakan. Para saksi atau pranata tersebut atau lembaga adatyang bertindak sebagai pihak yang menyerahkan per-empuan atau pihak pemberi berkat atau disebut sebagai tutup ni ampangdan dikenal dengan istilah ;
Sijalo Bara yaitu saksi perkawinan yang sekaligus juga berhak menerima upah saksi dan hal itu diperankan oleh abang atau adik dari Ayah pengantin perempuan.
Simolohonyaitu saksi perkawinan yang berhak menerima upah saksi dan diperankan oleh saudara laki-laki pengantin perempuan yang sudah berkeluarga.
Paribanyaitu saksi perkawinan yang juga berhak atas upah saksi dan diperankan oleh kakak dari penganten perempuan yang sudah berkeluarga .
Tulang yaitu saksi perkawinan yang berhak atas upah saksi dan diperankan oleh saudara laki-laki dari Ibu penganten perempuan.
Sementara itu didalam pihak laki-lakiyang akan dinikahkan tersebut terdapat pula suhi ni ampang na opat / empat sudut bakul yang sama sebagaimana pranata yang merupakan saksi-saksi perkawinan atau pranata atau lembaga adat yang bertindak sebagai pihak penerima per-empuan sekaligus pihak penerima berkat dan disebut sebagai berikut ;
Pansamotyaitu orang tua pihak laki-laki dan berhak untuk menerima atas ulos pansamot.
Pamarai yaitu abang atau adik dari ayah silaki-laki yang menikah dan berhak untuk menerima atas ulos pamarai.
Simandokkon yaitu abang dari laki-laki yang dinikahkan dan berhak untuk menerima atas ulos simandokkon.
Si-hutti Ampang ( dialap jual) atau istilah Ulos ni Ibotona (taruhon jual) yaitu kakak perempuanatau“ito”ataupun“namboru” dari silaki-laki yangmenikah dan berhak menerima ulos si- Hutti Ampang .
Ke-empat pihak diatas baik yang ada dipihak perempuan maupun yang ada dipihak laki-laki yang akan menikah tersebut , jelas-jelas menjadi saksi perkawinan dan bertanggung-jawab secara moriil kepada perkawinan yang dipersaksikannya. Dalam perkawinan itu mau tidak mau , telah membuat mereka turut untuk menjaga keutuhannya serta menjadi bagian yang harus turut campur lebih dahulu jika perkawinan itu kelak ada mendapat permasalahan.
Dalam arti yang benar“marsibuah-buahi” adalah suatu lembaga pranikah dalam perkawinan adat batak. Lembaga pranikah yang mana harus dijalankan sebagai sarana saling mengenal secara berhadapanlangsung antara pihak laki-laki dan kerabatnya maupun pihak perempuan bersama kerabatnya.
Jika dalam pranikah tersebut masih ada yang kurang maka acara adat selanjutnya yaitu pesta unjuk belum bisa dilanjutkan.Pemaksaan untuk melanjutkan acara selanjutnya tentu akan berakibat fatal sebab dalam acara pesta unjuk yang akan berperan adalah lembaga bius/pranata social dari seluruh masyarakat adat yang ada dan kekurangan tadi akan dikontrol oleh lembaga bius dimaksud dan dapat berujung pada hukuman atau dipermalukan oleh lembaga bius tersebut.
Sangatlah tepat jika seorang pria dengan seorang wanita yang akan menikah secara budaya adat batak, terlebih dahulu diperkenalkan kepada pranata yang diatur oleh suhi ni ampang naopat . Dengan demikian mereka yang akan menikah tersebut sudah mengenal dengan baik/familiar terhadap saksi-saksi perkawinannya dan mempunyai relasi komunikasi maupun emosional yang sudah terbina. Sayang perkawinan dikalangan orang batak saat ini menjadi terfokus hanya untuk mengikuti syarat protokoler dan formil praktis saja atau hanya mengurusi pemeran pranata suhi ni ampang saja tidak lagi hakekat yang terkandung dalam suhi ni ampang tersebut.
Suatu perkawinan dikalangan masyarakat Batak harus sekaligus meliputi perkawinan menurut hukum agama, hukum positif dan hukum adat dan untuk memenuhi ketiga unsur hukum tersebut sudah terasa bertele-tele,apalagi dilakukan dalam kurun waktu sehari penuh pada hari pelaksanaannya. Dahulu tentu hanya perkawinan adat saja yang dijalankan namun dalam kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini mau tidak mau perkawinan tersebut harus sekaligus disahkan oleh agama , pemerintah dan adat.
Akibat adanya hubungan perkawinan adat maka menimbulkan hubungan pranata-pranata yang baruyaitu ;
Hula-hulasebagaisebutan bagi pranata yang menyerahkan siperempuan.
Borusebagai sebutan bagi pihak penerima siperempuan.
Dongan Sabutuha sebutan bagi pranata yang semarga/marga yang sama .
Didalam perkembangan rumah tangga dari pria dan perempuan yang baru menikah tersebut selanjutnya dan terutama setelah mempunyai keturunan/anak akan muncul sebutan baru dari anaknyayaitu ;
Oppungartinya orang agung, yakni sebutan cucu kepada kakek neneknya.
Tulang sebutan untukpaman artinya pihak yang telah menyerahkan tulang rusuk bagi pria yang menikah karena si pria yang menikah telah mendapatkan pengganti tulang rusuknya yaitu istri yang dinikahinya tersebut.
Amangboru/Namboru artinya sebutan dari garis perempuan pada kaumnya sendiri yang sudah cukup mampu untuk dituakan, semisalnya telah menikah ataupun cukup dewasa.
Problema - problema social yang ada pada masyarakat batak modern sekarang , yang seakan-akan tidak lagi bersesuaian dengan adat istiadat tidaklah pula mutlak benar. Dalam hukum agama jelas telah mengatur dan meliputi hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama manusia maupun lingkungan alam dan sekitarnya.Namunharus mampu membedakan dalam hubungan apa, ada terjadi kontradiktif tersebut dan seakan terlihat berseberangan dengan agama.
Bukankah sudah jelas dalam setiap agama ada aturan yang mengatur urusan manusia dengan Tuhan dan aturan manusia dengan manusia.Aturanagamayang menyangkut urusan manusia dengan Tuhannya harus mutlak berlaku bagi penganut agama tersebut. Misalkan saja yang terdapat dalam agama Kristen yaitu Hukum Taurat dan Injil atau juga dalam agama Islam terdapat Rukun Iman dan Rukun Islam. Hubungan manusia dengan Tuhan mutlak mengutamakan hukum agamanya dan hukum hubungan manusia dengan penciptanya yang terdapat dalam budaya atau adat istiadat batak kuno harus mengikutipencerahandariagamanya masing-masing.
Persoalan yang pelik adalah hubungan sesama manusiadalam interaksi social yang mana senyatanya memang budaya batak kuno tersebut terasa tertinggal oleh kemajuan atas perkembangan manusia tersebut dalam peradaban modern sekarang. Perbedaan demikian wajib dicari solusi oleh setiap lembaga adat atau lembaga bius tersebut dan tentu tidak akan selalu sama pendekatan social yang dilakukan tergantung pada setiap permasalahan dan basis-basis laten yang ada dalam nilai-nilai adat batak.
Lembaga social/bius tersebut yang berwenang memutuskan setiap penyelesaian masalah tersebut. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam lingkungannya tentu mempunyai warna dimasing-masing komunitas masyarakat. Warna yang menjadi suatu kekayaan kebudayaan atau adat istiadat yang tentu beraneka ragam sesuai dengan tempat dan lingkungan yang ada.
Dengan adanya masuk pencerahan agama maka kebudayaan atau adat istiadat yang ada tersebut harus membukakan mata dan menerima pencerahan agama sebagai hakekat tujuan hidup manusia. Disatu sisi pencerahan agama tidak serta merta mengklaim bahwa kebudayaan dan adat istiadat adalah sesuatu yang telah menyimpang. Manusia menyadari kebudayaan atau adat istiadat timbul dari nilai yang baik dan rasa serta pemikiran yang terbaik pada masyarakat dan oleh karena hal itulah bisa terpelihara baik ditengah masyarakat.
Dalam keadaan zaman sekarang terkadang oleh karena adat istiadat itu sangat kental dengan manusia batak maka manusia batak yang tergolong telah melanggar nilai-nilai adat istiadat batak lebih cenderung memilih untuk mendiamkan dan menyimpan permasalahannya , baik karena rasa malu dan selanjutnya ditampung dengan penyelesaian oleh pranata pada masyarakat lainnya .
Secara manusiawi tidak ada pula agamayangboleh mengklaim agamanya lebih baik dari agama yang lain. Harus bisa dijadikan bahwa agama telah menjadi pencerahan bagi setiap budaya, sedangkan budaya dibuat manusia untuk mengatur sesamamanusia. Budaya – budaya yang memang buruk bagi manusia haruslah mengalamipencerahan dari agama.
Sepertihalnyaadat batak yang menggaris utamakan anak laki-laki maka dalam perkembangan peradaban sekarang ini dan adanya kesetaraanantaralaki-lakidanwanita, ternyata haruslah berhati- hati dalam setiap kepentingannya. Adat batak tidak bisa kaku harus maju kedepan sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang ada disetiap masyarakat .
Pemikiran yang menganggappelanggaran terhadap adat batak harusdibuang jauh-jauh atau tidak lagi diurusi oleh lembaga adatnya, tidak selalu lagi bisa dipertahankan.Dalammasyarakat batakdiakuidanselaludijalankan budaya berupa falsafah ; lain lubuk lain ikannyaatausidapotsulup do na roatau adanya lembaga Tonggo Raja . Lembaga Tonggo Raja maupun Ria Raja adalah instrument demokrasi yang sudah lama ada.Hal ini dapat dijadikan sebagai lembaga yang menangani permasalahan - permasalahan yang belum diakomodir atau yang bertentangan dengan adat batak kuno sebagaimana timbulnya perkembangan ditengah masyarakat batak agamais sekarang.
Hal yang menarik dan menjadi tantangan saat ini oleh kemajuan dan kesibukan akan terdapat juga nantinya rumah tangga - rumah tangga yang mengalami perceraian. Dalam masyarakat batak secara umum seorang wanita yangtelahditerimamenikah dengan seorang pria dan sudah menjalankan adat maka siwanita tersebut menjadi keluarga si pria.
Segala tindak tanduknya harusmembawakan nama dan kepentingan dari pihak si pria suaminya tersebut , terlihat sebagai konsekwensi dari system patrineal yang dianut. Padahal zaman sudah menuntut kesetaraan manusia dan menghapus perbedaan jender / gender / jenis kelamin bahkan sudah terjadi paradoks yang ada dalam adat istiadat karena tidak jarang saat ini ditemukan banyak wanita yang lebih sukses dari suaminya.
Akibat zaman yang maju saat ini dan membuat persoalan perceraian rumah tangga dimaksud maka yangadabanyakkeluarga-keluarga demikian terpaksa terpinggirkan oleh pelayanan adat istiadat.Satu sisihal itu dianggap untuk menegakkan dan melestarikan adat batak (setelah beragama) yang menganut keyakinan satu kali menikah sampai beranak dan bercucu dan hanya bercerai oleh kematian.
Kenyataan tidak semua rumah tangga bisa selamat sampai sedemikian rupa karena zaman telah membentuk keadaan lain dan keegoisan antara suami dan istri dapat saja memporak porandakan keluarganya. Secara umum hal itu akan tersisih dari komunitas adat istiadat pada kaum adatnya, padahal agama telahpun membuat dan mendahulukan bentuk pencerahan-pencerahanlain.
Sebaiknya hal-hal sedemikian harus terpisah, bukankah agama menjadi pribadi yang bertanggung jawab kepada Tuhannya, sedangkan adat bertanggung jawab kepada sesama manusia dalam lingkup komunitas adat tersebut.Jelas ada fase dan celah yang tidak tersambung dengan baik bahkan akan cenderung menjadi pembiarannamun itulah keunikannya, adat tidak otomatis menjadi urusan agama namun nilai agamanyaharus masuk seluruhnyadalambudayanya.
Para tetua adat khususnya dalam budaya batak, pelaksanaan adat tidak pernah bisa dilakukan oleh kerabat-kerabat dalam saja , melainkan total menjadiurusanmasyarakatnya melalui lembaga Bius. Para tetua adat yang tercakup dalam lembaga Bius yang nota bene adalah para tetua dalam masyarakat besar mewakili seluruh warga dan marga serta lembaga pemerintahanmakaberkewajibanmenampung perkembangan zaman .
MANJUJUNG TANDOK
Dapat juga kita perhatikan ke-empat nilai dimaksud diungkapkan saat seorang lahir dimana para handai tolan dari pada keluarganya akan datang menjenguk dalam suka cita karena telah lahir seorang manusia di komunitas masyarakat adat tersebut. Mereka datang menjenguk dengan membawa segala sesuatu yang patut untuk dihadiahkan dan khusus bagi derajat yang semarga dan derajat borunya akan selalu disertai dengan membawa beras dalam bakul atau babahul/tandok. Tandok adalah perangkat bakul yang bentuknya lebih kecil dan memanjang keatas namun dasarnya tetap mempunyai sudut empat buah. Artinya para penjenguk yang datang dengan membawa tandok menunjukkan adanya sukacita, kasih, harapan dan kebahagiaan atas peristiwa tersebut.
Bentuk tandok sekaligus melambangkan sesuatu tanda bantuan untuk memulai berdirinya sesuatu yang diharapkan, semisal adanya kelahiran yaitu adanya suatu permulaan kehidupan maka para penjenguk menyampaikan bantuannya dalam tandok tersebut ( sesuai kewajibannya yang telah ditentukan dalam garis adat ) demikian halnya dengan adanya perkawinan sebagai sesuatu dimulainya rumah tangga.
Dalam setiap hidup sesorang maka dengan menjalankan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ke-empat sudut bakul dimaksud akan pula mencapai tujuan hidup yaitu : hamoraon/kekayaan, hagabeaon/punya keturunan dan hasangapon/harga diri.Begitu pula halnya disaat seorang meninggal dan telah berhasil dengan baik menjalankan dan mencapai ke-empat fungsi yang ditentukan oleh sudut bakul/ampang dimaksud atau saat sekarang ini diukur hanya oleh ukuran kwantitas pada keberhasilan seorang dalam membina rumah tangga dan mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang telah berumahtangga atau telah mencapai derajat ”sahur matua” maka peranan ampang/bakul dalam istilah ”sanggul marata ” harus pula diperbuat.
SANGGUL MARATA
Sanggul Marata adalah instrument sekaligus sebagai simbol keberhasilan seseorang yang meninggal yang telah berhasil semasa hidupnya dalam menjalankan fungsi yang diartikan oleh ke-empat sudut bakul/ampang dimaksud. Pada saat ianya meninggal maka diperbuatlah dan dipertunjukkan pada khalayak ramai sesuatu yang disebut dengan ”sanggul marata” yaitu bakul/ampangyang berisikan : eme, gambiri , sangge-sangge, silanjuang (na rata dohot narara), sanggar, bulung ni jajabi, ompu-ompu, yang kesemua benda tersebut adalah simbol keberhasilan dari yang meninggal.
Disaat acara”mardodon tua ” maka para anak cucu yang meninggal tersebut wajib pula menari/manottor dengan membawa ”sanggul marata” dimaksud berkeliling sambil menari/manottor kehadapan para khalayak yang ada. Para anak cucu itu menari/manottor dan bangga atas keberhasilan yang telah diperoleh oleh si-meninggal leluhur mereka tersebut.
Simbol-simbol yang dapat diartikan dan sesuatu yang bisa diperoleh dari tumbuhan dalam alam raya ini dan diartikan bahwa yang meninggal tersebut telah berhasil mencapai dan mewariskan kepada generasinya hal-halberikut ;
-Eme (padi) sebagai artitelah mencapai taraf hidup yang baik cukup pangan dan sandang dan bibit-bibit yang demikian telah diwariskannya kepada anak cucunya.
-Gambiri (kemiri) mengartikan pada minyak artinya untuk mencapai taraf hidup yang baik harus memberi arti bagi masyarakat yang ada sehingga bisa meresap serta diterima dan tidak ditentang oleh pihak manapun.
-Sangge-sangge ( batang sereh/serai) artinya yang meninggal ini tahu dan mampu membuat obat dan menjaga kesehatan dirinya dan keturunannya.
-Silanjuang narata dohot narara (daun silanjuang/hanjuang yang hijau dan merah) mengartikan bahwa untuk mencapai taraf hidup yang baikperlu perjuangan dan kerja keras. Silanjuang narata/ hijau menyimbolkan pada perjuangan yang tenang dan teratur dan silanjuang narara/yang merah menyimbolkan perjuangan yang penuh liku dan kerja keras dan keberanian.
-Sanggar ( Pim-ping /ilalang yang ber-ruas) mengartikan bahwa kehidupan ini mempunyai grafik yang turun naik atas terpaan yang datang pada kita seperti sanggar yang diterpa angin akan turun naik mengayun-ayun.
-Bulung ni jajabi ( ranting atau daun beringin ) mengartikan keberhasilan dalam kehidupan harus untuk kesatuan keluarga dan masyarakat pada umumnya atau berguna untuk orang banyak.
-Ompu-ompu ( bunga bakung ) mengartikan bahwa yang meninggal telah mempunyai anak cucu dan apa-apa yang diperolehnya sangatlah baik dan indah untuk diteruskan oleh anak cucunya.
Demikian halnya dengan sanggul marata jelas bukanlah pengakuan atas illah yang lain hanyalah istrument adat dalam lingkup budaya untuk mengatur setiap manusia dalam masyarakat adatnya. Benda-benda yang ada dalam sanggul marata hanyalah simbol dan benda-benda itu telah dipilih masyarakat tradisionil batak pada zaman dahulu sebagai aksesoris budaya / alat yang memperindah kebudayaan. Benda-benda itu pula yang dipilih sebagai simbol yang cukup mewakili kepentingannya dalam adat istiadat dan yang tumbuh serta mudah ditemukan dilingkungan sekitar.
Tak perlu pula di era modernisasi saat sekarang ini merasa malu untuk melakukan atau mempraktekkan adat istiadat demikian . Hanya mungkin saja bakul atau ampang atau tandok perlu dipoles dengan balutan hasil teknologi yang bersesuaian, semisal diperindah dengan manik-manik atau sejenisnya. Jika saat ini adat istiadat banyak yang telah ditinggalkan adalah akibat konsekwensi kemanjuan peradaban nasional dan globalisasi. Berbagai kemajuan informasi telah membuat adat istiadat seakan ketinggalan jauh dan tidak lagi bersesuaian dengan zaman . Suatu anggapan yang keliru dan perlu kita luruskan.
Ungkapan yang mengatakan “ adat do ugari, sini-hathon ni Mulajadi, siradoton manipat ari, siulaon di siulubalang ari “ merupakan suatu pernyataan yang diterima dan diakui oleh seluruh masyarakat Batak.Artinyaadatadalahhukum dan aturan yang harus dipelihara sepanjang haridan dilaksanakan sepanjang hidup.Adat diterimasebagai suatu kewajiban agar perjalanan hidup pribadi, keluarga serta masyarakat berjalan dengantenteram, tertibdansejahtera.
Penghargaan demikian tinggi atas nilai-nilai yang baik dalam adat istiadatBatakmembuatmanusiaBatak takut melanggarnya, takut tidak menjadibagianmanusia yang baik, takut dicap sebagai manusia tidak beradat.Sesuatuyang harus diartikan dalam konteks peradaban modern sekarang yang telah mengenal berbagai agama , namun tetap mempunyai penghargaan yang tinggi selaku manusia yang beradat,karenanilai-nilaiyangterkandungdalam adat istiadat batak senyatanya banyak yang sejalandan bernilaisamadenganyang diatur oleh nilai-nilai agama.